KHUTBAH JUM'AT


Oleh Ust. Hamdan, S.pd



Diantara syiar Jum’at yang paling besar ialah dua khutbah. Dalam pelaksanaanya, banyak diantara kaum muslimin yang tidak memperhatikan adab-adab Jum’at, terutama ketika khutbah Jum’at itu disampaikan. Bahkan masih ada saja orang yang belum atau bahkan tidak faham tentang hal itu, sehingga masih dijumpai setiap pelaksanaan shalat Jum’at, sehingga batalah (sia-sia dan tidak mendapat pahala) Jum’atnya dengan tanpa disadari. Dan diantara adab orang yang mendengarkannya ialah diam dan mendengarkan khatib selama dua khubah itu disampaikan, agar dia dapat menyerap nasehatnya dan mengamini doanya.

Hukumnya
Mayoritas ulama berpendapat bahwa hukum khubah Jum’at adalah wajib. Mereka berpegang pada hadits hadits shahih yang menyatakan bahwa setiap kali Rasulullah SAW Melaksanakan shalat jum’at, beliau selalu menyertainya dengan khutbah. Mereka juga mengemukakan sabda Rasulullah SAW:” Shalatlah kalian sebagaimana kalian shalat melihat aku shalat” Mengucap salam ketika berada diatas mimbar. Khatib diwajibkan mengucapkan salam apabila sudah naik di atas mimbar dan adzan dikumandangkan apabila dia sudah duduk  di atas mimbar, serta makmum dianjurkan menghadap ke arahnya. Jabir mengatakan:” Apabila Rasulullah naik ke atas mimbar, beliau mengucapkan salam” (HR Ibnu Majah dan di dalam sanadnya terdapat Ibnu Lahi’ah)

Isi Khutbah
Disunnahkan isi khutbah itu mengandung pujian kepada Allah, dan sanjungan terhadap Nabi SAW dan nashihat bacaan Al Qur’an. Dari  Abu Hurairah ra, dari Nabi SAW bersabda:”Setiap pembicaraan yang tiada dimulai dengan ucapan pujian kepada Allah, maka ia terputus” (HR Abu Daud, juga oleh Ahmad dengan maksud yang sama). Dari Ibnu Mas’ud, bahwa Nabi SAW bila memulai khubahnya beliau mengucapkan “Alhamdulillahi nasta’inuhu wa nastaghfiruh wa na’udzu billahi min syururi anfusina man yahdillahu fala mudlillalah wa man yudlil fala hadiyalah wa asyhadu alla ilaaha illallah wa asyhadu anna Muhammadanm’ abduhu wa Rasuluh arsalahu….” Artinya Segala puji bagi Allah kami mohonkan pertolongan serta keampunan kepadanya, dan kami berlindung kepadaNya dari kejahatan kejahatan diri kami sendiri. Barang siapa yang diberi petunjuk oleh Allah, maka tidak seorangpun yang dapat menyesatkannya, sebaliknya barang siapa yang disesatkannya, maka tiada seorangpun yang dapat memberinya petunjuk. Saya bersaksi tiada Tuhan selain Allah dan saya bersaksi bahwa Muhammad itu adalah hamba dan persuruhNya, yang diutus dengan kebenaran,….”  (HR Abu Daud). Dari Jabir ra katanya: “ Nabi SAW  tiadalah memanjangkan nasehatnya pada hari Jum’at, beliau hanya memberikan amanat amanat yang singkat saja”(HR Abu Daud)

Dalam buku Ar Raudlatun Naddiyah disebutkan: “ Ketahuilah bahwa khutbah yang disyari’atkan itu ialah yang bisa dilakukan oleh Rasulullah SAW, yakni berisi kabar gembira atau peringatak kepada ummat manusia. Inilah sebelumnya menjadi jiwa khutbah. Adapun syarat sayarat seperti Alhamdulillah salawat atas Rasulullah, bacaan Al Qur’an semua itu adalah diluar tujuan dari disyari’atkannya khutbah. Dan apabila hal itu kebetulan dikerjakan oleh Nabi SAW, maka hal itu dipandang sebagai suatu syarat yang wajib dilakukan.  Setiap orang yang sadar tentu mengakui bahwa tujuan utama dari khutbah ialah member nasehat dan bukan bacaan. Alhamdulillah atau shalawat Nabi. Memang, adalah suatu hal yang lazim bagi bangsa Arab. Bila hendak melakukan pidato selalu dimulai dengan pujian kepada Allah dan rasulNya, Dan hal ini memang baik dan terpuji. Tetapi ini bukalah yang dituju, karena yang sebenarnya dituju ialah uraian sesudah itu.  Seandainya ada yang berkata bahwa maksud seseorang tampil memberikan wejangan di tempat umum, ialah untuk menyampaikan pujian kepada Allah dan shalawat kepada rasulNya semata sudah jelas hal itu tidak dapat diterima, dan setiap pikiran yang sehat tentu akan menyangkalnya. Nah apabila hal ini telah dipahami jelas bahwa uraian dalam khutbah Jum’at, sebenarnya telah cukup dan terpenuhi dengan adanya nasehat yang dikemukakan oleh khatib dan memang itulah yang diperintahkan. Hanya saja kalau dia memulai uraiannya itu dengan pujian kepada Allah serta RasulNya kemudian dalam kupasannya itu dibacakan pula ayat ayat Al Qur’an yang ada sangkut pautnya dengan acara, maka demikian itu adalah lebih bagus dan lebih sempurna.

Khutbah Dengan Bahasa Non Arab
Syaikh Ibnu Utsaimin Rahimahullah, pernah ditanya tentang masalah ini dan beliau menjawab bahwa tidak boleh bagi khatib berbicara ketika khubah jum’at dengan bahasa yang tidak dipahami oleh jama’ah yang hadir. Apabila jama’ah tersebut bukan orang arab, dan tidak paham bahasa Arab, maka khotib lebih tepat berkhutbah denan bahasa mereka, karena bahasa adalah pengantar agar sampai penjelasan kepada mereka. Alas an lain karena maksud (tujuan) dari khutbah adalah untuk menjelaskan hukum Allah Subhanahu wa ta’ala pada hamba-Nya, juga memberikan nasehat dan petunjuk. Namun ketika membaca ayat Al Qur’an  haruslah dengan bahasa Arab, lalu setelah itu boleh ditafsirkan dengan bahasa yang dipahami oleh jama’ah. Allah Ta’ala berfirman:” Tidaklah kami mengutus seorang Rasul kecuali dengan bahasa kaumnya untuk member penjelasan pada mereka” (QS Ibrahim) Dalam ayat ini  Allah Ta’ala menjelaskan bahwa agar sampainya penjelasan, hendaklah pembaca menggunakan bahasa yang dipahami oleh orang yang diajak bicara.

Beridiri Dalam Kedua Khubah dan Duduk Diantrara Keduanya
Dari Ibnu Umar ra katanya:” Nabi SAW selalu berdiri di waktu khubah, kemudian duduk lalu berdiri lagi sebagaimana yang dilakukan sekarang”(HR Jamma’ah). Dan dari Jabir Samurah, katanya:” Nabi SAW khutbah sambil berdiri, lalu duduk kemudian berdiri untuk berkhutbah lagi. Barang siapa mengatakan bahwa beliau berkhutbah sambil duduk, maka jelas ia berdusta. Sungguh dan demi Allah, saya telah bersembahyang dengan beliau lebih darai dua ribu kali”  maksudnya dengan shalat lima waktu- (Riwayat  Ahmad, Muslim dan Abu Daud)

Disunnahkan Mengeraskan Suara, Mempersingkat Khutbah dan Memperhatikannya Dengan Seksama.
Dari Amir bin Yasir ra, katanya:” Saya mendengar Rasulullah SAW bersabda “Sesungguhnya panjangnya shalat dan singkatnya khutbah, menunjukan pengertian seseorang dalam soal agama. Dari itu panjangkanlah shalat dan singkatkanlah khutbah!” (HR Muslim dan Ahmad).  Dikatakan bahwa khutbah yang pendek dan shalat yang panjang itu sebagai tanda pengertian seseorang dalam agama, sebabnya adalah karena seseorang yang mengerti, dapat memilih uraian yang padat dan bernash serta tidak ngelantur. Kemudian dari Jabir ra , katanya: “Apabila Rasulullah SAW berkhutbah, kedua matanya merah, suaranya keras, dan semangatnya bangkit bagaikan seorang panglima yang memperingakan kedatangan  musuh yang hendak menyergap diwaktu pagi atau di waktu sore.” (HR Muslim dan ibnu Majah) Berkata Nawsawi:” Disunnahkan khutbah itu dengan kata kata yang fasih dan lancar, tersusun dan teratur rapi, mudah dimengerti, jangan terlalu tinggi dan jangan pula bertele tele atau melantur tidak karuan, sebab hal demikian ini tidak akan membekas sedikitpun dalam hati. Maka sebaiknya dipilih kata kata yang mudah, singkat dan berisi”

Memutuskan Khutbah karena Sesuatu hal
Dari Abu Buraidhah ra, Katanya:” Ketika Rasulullah SAW berkhutbah, tiba tiba datang Hasan dan Husain, berpakaian gamis merah dan berjalan tetatih tatih. Maka Rasulullah SAW  pun turun dari mimbar, lalu digendongnya kedua anak itu dan