INDAHNYA NIKAH LAGI

Oleh: Ust Taqdir Syamsudin Ali, SE, MM


Nikah itu memang indah, rasanya tidak perlu pembutian yang panjang lebar untuk menujukan betapa indahnya pernikahan bagi orang orang yang saling mencintai. Sepanjang sejarah umat manusia, banyak cerita mengharukan yang mengiringi kelangsungan pernikahan. Ada tangisan? memang ada tapi itu tangisan kebahagiaan. Bagi bujangan saja terlintas begitu indahnya, apalagi bagi dua insan yang saling mencintai?! Masya Allah indah sekali. “ Dan diantara tanda tanda kekuasaannya ialah dia menciptakan untukmu istri dari jenismu sendiri, supaya kamu cenderung merasa tenteram kepadanya, dan dijadikan-Nya diantarmu rasa kasih dan sayang. Sesungguhnya pada yang demikian itu benar benar terdapat tanda tanda bagi kamu yang berpikir” (QS Ar-Ruum :21).

GEJOLAK JIWA
Bila telah tiba waktunya, kesibukan kerja, kuliah ataupun dakwah tidak akan dapat menghalau kebutuhan untuk bersanding bersama orang lain sebagai suami istri. Tuntutan fitrah ini akan memanggil setiap saat, dimana tiada pelabuhan yang sanggup menenangkan kegelisahan itu kecuali segera menikah. Ketika fitrah nikah ini akan kita abaikan maka kegalauan hati dan kegelisahan jiwa akan selalu menghantui. Dan jika panggilan itu semakin kuat, bisa jadi yang tidak kita inginkan terjadi Zina!. Ada mahsiswi yang mengatakan “sekarang saya minum pil untuk memperlancar haid agar tidak hamil” Subhanallah! Takut hamil, akan tetapi tidak takut azab Allah.

SAATNYA MENIKAH (lagi)
Fitrah insan akan selalu mendorong untuk cepat cepat menikah, ketika sudah tiba waktunya barangkali ada yang tidak ‘pede’ untuk melangsungkan pernikahan dan masih ada dilema”apakah sudah saatnya saya menikah?” Usia bukanlah ukuran yang pasti, banyak diantara ikhwan yang menjadi ukuran sunnahnya menikah itu usia 25 tahun, sebagaimana usia rasulullah. Akan tetapi pengambilan ibrah ini tidak 100% benar. Apalagi yang mengatkan bahwa nikah umur 30 tahun itu ingkarus sunnah ini jelas tidak benar. Rasulullah juga pernah menganjurkan sahabatnya menikah dibawah umur itu. Malah ada sahabat yang selisih umurnya dengan anaknya Cuma 12 tahun. Kalau hal tersebut direstui oleh Rasulullah berarti merupakan sunnah juga. Ibrah yang perlu diperhatikan adalah taujih Rasul kepada para pemuda yang mampu untuk segera menikah. Kalau begitu 25 tahun bukanlah ketentuan final. Lalu apa barometer sunnah dalam hal saatnya menikah ini? Rasulullah bersabda: “ Wahai para pemuda, barang siapa diantara kamu telah berkemampuan ba’ah (nafkah lahir bathin) maka menikahlah”

Kemudian apa tanda tandanya seseorang perlu menikah? Akhi fillah, tanda tandanya diantaranya:
  1. Jika anda sudah merasa gelisah pada malam malam sepi mencekam tanpa teman yang mendampingi, itulah saatnya anda harus mencari seorang istri.
  2. Jika anda sudah tidak kuat lagi ketika melihat akhwat (wanita muslimah) yang sedang lewat, itulah saatnya anda harus meminang.
  3. Jika anda sudah sulit menahan nafsu, dan ada calon istri yang mau maka itulah saatnya anda menikah.
Saatnya menikah, atau bahkan saatnya menikah lagi akan terasa lebih menggelora ketika seorang itu telah merasakannya manis dan gelak candanya pernikahan. Adalah penderitaan Abdulah bin Abu Bakar Ash-Shidik takala  terpisah dari isrinya yang sangat dicintainya, Atikah. Namun karena khawatirnya Abu Bakar akan melemahnya ghairah islamnya maka dimintanya untuk menceraikan dengan talak satu. Abdulahpun benar benar melaksanakannya. Namun kerinduannya akan seorang istri tidak dapat dibendung lagi. Abu Bakar sempat melihatnya ia sendirian menangis dan melantunkan sebuah syair sebagai berikut:” Aku tidak pernah melihat orang sepertiku yang tega menceraikannya. Tidak pula dirinya yang dicerai tanpa dosa Ia mempunyai ahlaq yang baik dan kelembutan yang lurus di dunia dan dihari nanti”. Trenyuh dan luluhlah hati Abu Bakar mendengar ungkapan jiwa anaknya. Maka ia memerintahkan untuk merujuknya kembali dengan Atikah. Bagaimana pula dengan duda duda yang belum sempat nikah lagi?!

MENGENAL CALON SUAMI/ISTRI
Mengenal calon suami atau calon istri itu merupakan langkah awal yang harus diperhatikan. Kelalaian dalam masalah ini akan mengakibatkan kekecewaan. Sebuah bayangan kelam dan mengenaskan akan masa lalu yang sangat mungkin akan terbawa sampai mati. Orang tua yang bijak tidak akan sembarangan menyerahkan anak wanitanya kepada laki laki yang tidak jelas ke-shalihannya.  Boleh jadi ia akan menyengsarakan, memukuli, menyakiti dan kemudian menceraikannya tanpa peduli. Perceraian itupun mungkin ada mafaatnya, yaitu terputusnya siksaan secara langsung, akan tetapi apakah kita dapat menjamin ketenangan bathinnya yang menderita?! Siapa yang merasakan kekecewaan itu? Orang tua yang bijak tidak akan sembarangan menikahkan putrinya. Keshalihan adalah standar yang harus kita utamakan.

Ada kisah seorang akhwat yang dipinang oleh seorang laki laki, maka bertanyalah ia perihal laki laki itu kepada teman yang mengenalnya. Temannya member informasi yang “ melebih-lebihkan” baik tentang diennya maupun akhlaknya. Namun ketika peminang dan keluarganya bermaksud “mengikat (sisetan, jawa)” ternyata menghendaki tukar cincin?!  Bagaimana mungkin laki laki yang shalih memakai cincin emas? Bukankah laki laki itu diharamkan memakai emas? Allahu akbar!.

Ada kisah lagi seorang ahwat (mahasiswi) yang mau dijodohkan oleh katakanlah ‘ustadznya’ informasi ustadznya adalah diennya bagus! Luluhlah hati sang ahwat dan seterusnya dengan iklas menerima  pinangannya. Kisah selanjutnya, calon suami sering komunikasi untuk memper erat ta’aruf, namanya juga calon suami. Yang menjadi ‘kejutan’ adalah  calon suami mengajak jalan jalan berdua. Allahuakbar! Bagai disambar petir, apakah ini orang dikatakan diennya bagus? Bukankah Islam mengharamkan ikhtilath tanpa muhrim? Allahu akbar!. Ingatlah wahai saudaraku, berbagai kasus “ganjalan” pernikahan bermula dari informasi yang tidak tepat, akan kepribadian calon suami ataupun calon istri. Pernah suatu hari seorang berkata kepada Amirul Mukminin Umar bin Khattab ra. Bahwa si fulan itu jujur, maka amirul mukminin bertanya kepadanya;”Apakah engkau kenal benar dengan orang ini?” ‘Ya” jawabnya. “Apakah engkau bertetangga dengannya dan tahu keadaan yang sebenarnya?”, “tidak” jawab orang itu. “apakah engkau pernah menemaninya dalam perjalanan sehingga engkatu tahu pasti karakter dan akhlaknya?”  “Tidak” jawabnya jujur. “Cukup!” berarti engkau hanya mengenalnya ketika ia berdiri dan duduk di masjid”. Tegas Amirul Mukminin.

Ada pelajaran menarik dari wawancara ini, bahwa tidak setiap yang kenal baik bisa menjadi sumber informasi yang utama, harus diuji lagi. Sumber informasi yang kita harapkan adalah yang hanif, Ia tidak mempunyai “kepentingan Khusus” dalam proses pernikahan ini dan tidak melebih lebihkan. Ia juga paham persepsi dan tolok ukur kita tentang baik dan tidaknya agama seseorang. Boleh jadi ia tulus dengan informasinya, akan tetapi baik menurutnya apakah sudah sesuai dengan persepsi baik menurut kita? Oleh karena itu penting bagi kita untuk mengecek ulang informasi. Jangan menggantungkan satu informasi saja dan afdhalnya tanyakan langsung kepada Allah dengan shalat istikharah. Ada kisah menarik dari seorang da’i  Indonesia di Jerman. Beliau ingin nikah, temannya mempertemukannya dengan anak janda, cantik memang! Da’i kita ini mengatakan: “secara dzahir saya mau, namun saya mau istikharah dulu” setelah istikarah ternyata dapat gambaran yang meyakinkan untuk segera menikah. Tetapi dengan ibunya, bukan dengan wanita yang ia nadzor padanya. Nikahlah ustadz ini dengan ibu wanita itu.

BERANIKAH MEMINANG
Banyak diantara ikhwan yang sudah meluap luap semangatnya untuk menikah. Bekalpun cukup, akan tetapi kurang punya nyali untuk meminang. Akhirnya sering kedahuluan orang lain. Akhi fillah, meminang itu sunnah, mengamalkannya juga mendapatkan pahala. Yang anda butuhkan adalah kuatkan azam/tekad dan pinang titik. Jika anda diterima ucapkan Alhamdulillah, dan jika ditolah ucapkanlah Allahu Akbar. Islam mengajarkan kepada kita, Allah berfirman”Dan jika kamu sudah bulad tekad, maka tawakkallah kepada Allah” (QS Ali-Imran:159). Rasulullah Shallallahu’Alaihi Wasallam bersabda:”Tiga orang yang berhak atas pertolongan Allah: Mujahid fi Sabilillah, Mukatab (hamba sahaya yang ingin memerdekakan dirinya) dan orang yang nikah karena menginginkan terpeliharan dirinya” (HR Bukhari)

Wallahu a’lam Bish showab